Kabah Baitullah

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati, ya Rabb kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”  (QS. Ibrahim 37)


Alkisah setelah tiba di suatu lembah sunyi, kering dan tak berpenghuni, Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Siti Hajar beserta sang putra beliau Ismail yang saat itu masih belia. Ditinggalkan pula sebuah periuk berisi korma dan tempat minum yang berisi air.

Salomon bin Ishak dalam Targumnya menuliskan tafsirnya yang berpendapat bahwa Hagar (Siti Hajar), ialah puteri seorang Penguasa Mesir dan bergelar Paraoh. Berdasarkan analisis Ustadz H. M. Nur Abdurrahman, Penguasa Mesir yang menjadi mertua Nabi Ibrahim as, ialah Raja Salitis yang berasal daripada Dinasti Hyksos. Dalam sejarah, Dinasti Hyksos memiliki keyakinan Tauhid, yang berasal daripada Kaum ‘Ad yang bernabikan Nabi Hud.

Ketika Ibrahim beranjak pergi, Hajar mengikutinya dan mengatakan, ”Wahai Ibrahim, ke mana engkau hendak pergi, engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni ini.” Berkali- kali Hajar mengulangi kata-kata itu, sedangkan Ibrahim tetap tidak menoleh ke arahnya.

Akhirnya Hajar bertanya,”Apakah Allah memerintahkanmu melakukan hal ini?” Ibrahim menjawab,”Iya.” Hajar lega dengan jawaban itu, hingga mengatakan,”Jika demikian, Allah tidak akan membiarkan kami.” Lantas, sang istri kembali ke tempat semula dimana ia ditinggalkan.

Siti Hajar tinggal hingga perbekalan habis. Beserta putranya, beliau mulai merasakan kehausan. Beliau berlari-lari menuju bukit Shafa untuk melihat, apakah ada orang di sekitarnya. Ternyata, setelah tiba di tempat itu, tidak ada siapa pun yang terlihat. Akhirnya Siti Hajar mencoba menuju Marwah untuk tujuan yang sama, namun apa yang diharapkan tidak diperoleh, hingga beliau berlari-lari kecil bolak-balik antara Shafa-Marwa hingga tujuh kali, dengan hasil yang sama. Saat itulah malaikat turun di tempat dimana Ismail ditinggalkan. Di tempat itulah akhirnya air mamancar. Hingga malaikat itu mengatakan kepada Hajar,”Janganlah khawatir disia-siakan. Sesungguhnya di tempat inilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya.”

Dalam Shahih Al Bukhari juga dijelaskan bahwa setelah itu sebuah kafilah menyaksikan ada beberapa burung berputar-putar, hingga mereka berkesimpulan bahwa burung-burung tersebut melihat air. Diutuslah dua budak kafilah untuk melihat. Mereka kembali dengan mambawa berita gembira, bahwa memang di tempat itu ada air. Mereka akhirnya meminta izin kepada Hajar untuk tinggal. Kafilah dari Syam ini memperoleh izin, namun tidak berhak menguasai air Zamzam. Mereka ini yang disebut Al Azraqi sebagai kabilah Jurhum. Kabilah ini akhirnya hidup berdampingan dengan keluarga Hajar. (Akhbar Makkah, hal. 29)

Ketika mereka melihat air, mereka meminta ijin kepada Hajar dan Ismail untuk tinggal di dekat situ. Hajar pun mengizinkan. Dia sangat senang melihat Suku Jurhum dan mengatakan bahwa mereka dipersilahkan untuk berkemah di lembah tersebut. Mereka juga membangunkan tenda untuk Hajar dan Ismail. Kabilah Jurhum lantas menetap di sana dan mengandalkan air zamzam sebagai sumber kehidupan.

Leluhur Jurhum menurut mayoritas sejarawan nasabnya bersambung hingga ke Nabi Nuh AS. Silsilahnya adalah Jurhum bin Qahthan bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh. Ayah Jurhum, Qahthan, mempunyai banyak anak laki-laki hingga 10-31 orang, diantaranya Yarab, Hadramaut, Amman, dan Jurhum sendiri.

Keturunan Qahthan ini dikenal pula sebagai Arab al-Qahthaniyin. Atau lebih popular dikenal dengan istilah al-Arab Al-Aribah (Arab Murni) kedua, yang tersisa dari kaum Ad dan Tsamud yang merupakan Arab pertama (al-Arab Al-Baidah) yang sudah punah. Sementara, keturunan Ismail termasuk Bangsa Arab yang disebut Al-Arab al-Mustaribah, yang telah bercampur darah dengan Non-Arab akibat perkawinan.

Di Hijaz, kabilah Jurhum tersebar di jalur para pedagang Arab Selatan menuju Laut Mediterania. Kabilah ini hidup berpindah-pindah (nomaden) dari satu oase ke oase yang lain. Mereka hidup bergerombol dan mengembara untuk mencari sumber air dan makanan bagi kambing maupun unta mereka. Unta merupakan kendaraan utama di Sahara kala itu.

Demikianlah, kabilah Jurhum yang semula hidup nomaden itu menetap bersama Hajar dan Ismail. Setelah itu, pembauran dan percampuran budaya tak terelakkan. Ismail tumbuh dewasa di tengah suku Jurhum. Malah, nenek moyang Ismail yang semula berbahasa Ibrani akhirnya belajar bahasa Arab melalui suku Jurhum. Dan, ketika Ismail tumbuh dewasa ia menikah dengan putri pemimpin suku Jurhum, dikaruniai dua belas anak, yang menjadi moyang Bangsa Arab.

"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Al Baqarah 124-129

Setelah Nabi Ismail as berumur 30 tahun, dan Siti Hajar berumur 90 tahun, Nabi Ibrahim as mendatangi Makkah untuk melaksanakan perintah Allah yaitu membangun Ka’bah. Nabi Ibrahim lalu menceritakannya kepada Ismail, sehingga mereka berdua pergi untuk memulai pembangunan Ka’bah. Nabi Ibrahim meninggikan bangunan ka’bah menjadi 7 hasta, dengan ukuran panjang 30 hasta, dan lebar 22 hasta. Tetapi pendapat lain menyatakan tinggi ka’bah adalah 9 hasta. Pada saat itu, Ka’bah belum memiliki atap. Ka’bah dibangun dengan bahan bangunan yang berasal dari lima gunung, yaitu gunung Thursina (gunung Sinai), Thurzita, Libnan, Judi, dan gunung Nur.
Setelah bangunan Ka’bah telah tinggi, Nabi Ismail membawakan batu besar dari Jabal Qubais untuk ayahnya. Batu tersebut yang dikenal dengan Makam Ibrahim. Simbol selesainya pembangunan ka’bah ditandai dengan peletakan Hajar Aswad. Tetapi tidak disebutkan berapa lama masa pembangunan ka’bah tersebut

Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa saat pembangunan Ka’bah hampir selesai, saat itu masih ada ruang kosong untuk menutupi temboknya.

Berkatalah Nabi Ibrahim pada anaknya, Ismail. Meminta ia untuk mencari sebuah batu agar ruang kosong itu bisa tertutupi. ‘Pergilah engkau mencari sebuah batu yang bagus untuk aku letakkan di salah satu sudut Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”

Ismail pun menuruti perintah ayahnya dan pergi menuju suau bukit ke bukit lainnya untuk mencari batu terbaik. Saat dalam pencariannya, Ismail bertemu dengan malaikat Jibril yang memberinya batu hitam (Hajar Aswad) yang paling bagus.

Dengan gembira, Ismail pun menerimanya dan segera memberikan batu tersebut pada sang ayah. Nabi Ibrahim pun ikut bergembira dan mencium batu itu berkali-kali, dan meletakanya pada sudut Yamani yaitu yang terletak di sudut tenggara Ka'bah dan menjadi titik awal-akhir saat menjalankan tawaf. Lalu keduanya melanjutkan pembangunan Ka'bah sambil berdoa, 

''Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Al-Baqarah 127).

Setelah pembangunan Ka'bah selesai dikerjakan, Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyeru kepada umat manusia guna melaksanakan ibadah haji. Sebelumnya dengan tuntunan Allah maka Ibrahim bersama putranya Ismail, telah terlebih dahulu melaksanakan haji. 
Mereka berdua memulai haji dengan melaksanakan tawaf berjalan mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh putaran. Pada setiap putaran mereka mengusap setiap 'rukn' (sudut Ka'bah). 
Selesai tawaf mereka melaksanakan sholat di balik Makom Ibrahim dan kemudian melakukan lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah. Setelah itu, Ibrahim dan Ismail, atas petunjuk juga ini berangkat ke Mina untuk melempar jumroh dan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke Arafah. 

"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (Qs. Ali Imran: 96-97).

Sejak saat itu, lembah Makkah yang tandus dan sepi itu berubah semakin ramai. Banyak manusia lalu lalang melintas oasis di tengah sahara itu. Para penggembala kian sering singgah. Rombongan kafilah dagang datang silih berganti. Sekadar bertukar onta, berjualan gandum atau mendengar ajaran Ibrahim as. Kabilah Jurhum telah bersatu dengan ajaran Ibrahim dan lembah Makkah selama berabad abad.

Al Azraqi menyebutkan, bahwa setelah Ismail Alaihissalam wafat, penguasaan terhadap Ka’bah yang mana sumur Zam zam merupakan bagiannya, turun kepada keturunan beliau, Bani Ismail bin Ibrahim. Namun, setelah kekuasaan Bani Ismail melemah, Bani Jurhum menggantikan posisi mereka. Amaliq termasuk dalam salah satu suku yang mendiami jazirah Arab paling awal. Ahli sejarah menyebutkan, mereka merupakan Bani Jurhum pertama. Jurhum pertama yang dimaksud, yakni suku bangsa Arab yang sudah musnah. Termasuk di dalamnya adalah kaum Ad dan Tsamud. Sedangkan, Jurhum kedua dinisbahkan kepada Jurhum al Qahtha niyah yang merupakan kerabat Ismail.

Saat Bani Jurhum berkuasa di Makkah, datanglah Kabilah Khuza’ah yang berasal dari Yaman. Mereka berbondong-bondong pergi ke Makkah, karena tertarik dengan sumber air Zamzam yang melimpah itu. Akhirnya mereka memutuskan tinggal di tempat itu. Perselisihan dengan Bani Jurhum sering terjadi, hingga terjadi pertempuran antara kedua kabilah tersebut. Bani Jurhum kalah dalam pertempuran, dan akhirnya mereka terusir.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa saat kabilah Jurhum keluar Makkah itulah, Bani Jurhum sengaja menimbun mata air Zamzam, hingga tidak diketahui bekasnya. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam, 1/116)

Bani Khuza’ah memerintah di Makkah selama 300 tahun dan kemudian digantikan Suku Quraisy yang dipimpin Qushay pada tahun 440 M. Kalau kita hitung mundur dari tahun 440 sebanyak 300, akan ketemu angka tahun 140 M. Artinya, Bani Khuza’ah memerintah di Makkah dari tahun 140 sampai dengan tahun 440 M.

Suatu saat Amr bin Luhay berkunjung ke Syam dan sudah bisa dipastikan terjadi setelah peristiwa penghancuran Bait Allah Yerusalem tahun 70 M oleh Jendral Romawi Titus Flavius dan pemberontakan Bar Kokhba tahun 132m sampai dengan tahun 135m. Pasca pemberontakan Bar Kokhba, Kaisar Romawi Hadrian mengubah nama kota Yerusalem menjadi Aelia Capitolina dan menempatkan patung Yupiter di atas reruntuhan Bait Allah. Jadi ketika Amr bin Luhay tiba di Syam yang dia saksikan adalah agama pagan Romawi sedangkan kaum beriman Bani Israel sudah tidak ada lagi karena diusir oleh kerajaan Romawi.

Amr bin Luhay memperkenalkan penyembahan berhala kepada penduduk Makkah kira kira pada tahun 140 M sedangkan penghancuran berhala terjadi pada tahun 630m pada saat Fathu Makkah yang dipimpin Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan diikuti 10.000 orang beriman, berarti selama kurang lebih 490 tahun bangsa Arab menyembah berhala. Kalau dihitung dari zaman Ibrahim AS hingga tahun 140m berarti selama 2.000 tahun bangsa Arab tidak menyembah berhala.

Langkah ‘Amr bin Luhay itu dilakukan guna memperkuat posisinya sebagai pembaru di kalangan masyarakat setelah dia menyadari bahwa ajaran Nabi Ibrahim as telah mulai memudar. Tentu saja ada suara-suara yang menentang ‘Amr, terlebih yang sangat menentang perbuatan ‘Amr itu berasal dari suku Jurhum, itu di lakukan melalui syair-syair yang dilantunkan sebagai kecaman terhadap ‘Amr bin Luhay. Hal ini lah yang menyebabkan Bani Jurhum dan Bani Khuzaah selalu berselisih, hingga akhirnya terusir dari Mekah.

Rupa-rupanya penyembahan berhala di Arabia adalah fenomena yang baru terjadi pada abad kedua Masehi, pasca runtuhnya Bait Allah Yerusalem (70m) dan pemberontakan Bar Kokhba Bani Israel kepada Romawi (132m-135m).

Penyembahan berhala berbentuk patung dan gambar dimulai oleh ‘Amr bin Luhay Al-Khuza’i, seseorang berdarah Syam yang hijrah ke negeri-negeri Hijaz. Suatu ketika, dia bersafar dari Mekkah menuju Syam. Di Syam, dia melihat para penduduk  setempat menyembah berhala. Dia pun bertanya, “Berhala apa yang kalian sembah ini?”

Para penduduk menjawab, “Kami menyembahnya supaya dia menurunkan hujan, ternyata dia benar-benar menurunkan hujan bagi kami. Kami memohon pertolongannya, ternyata dia benar-benar menolong kami.”

Amr bin Luhay berkata, “Bolehkah kalian berikan berhala itu untukku supaya aku membawanya pulang ke negeri Arab dan penduduk di sana bisa menyembahnya?”

Akhirnya penduduk Syam memberi berhala yang mereka namai “Hubal” itu. Demikianlah, Hubal pun dipajang oleh penduduk Mekkah di sekitar Ka’bah.  Seiring dengan kematian si pembuat bid’ah ini, serta sejalan dengan pergantian zaman, hiduplah generasi jahil yang jatuh hati kepada batu yang menjadi berhala tadi. Mereka mengira batu itu adalah tuhan yang mampu mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala Rabb Baitullah Al-Haram. Begitu juga kebiasaan kebiasaan jahiliyah yang begitu melekat dalam tradisi Qurays waktu itu, seperti halnya status budak pada masa jahiliyah adalah sebagai manusia rendahan yang tidak punya hak asasi. Oleh karena itu meski dalam suatu kasus seorang budak bisa saja dikenai hukuman mati meski ia tak terbukti bersalah. Sikap patriakis juga menjadi salah satu yang mempengaruhi sistem hukum pada masa jahiliyah kala itu. Beberapa fakta bahwa laki-laki memegang kekuasaan tertinggi dibanding perempuan. Kondisi perempuan pada masa jahiliyah mendapat perlakuan yang sangat rendah. Hal ini terbukti dengan lazimnya bahwa perempuan pada masa itu tidak memperoleh warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Bahkan sudah menjadi tradisi bahwa kebanyakan bayi perempuan yang lahir akan dikubur hidup hidup karena dianggap sebagai pembawa sial.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Amr bin Luhay :

رأيت عمرو بن لحي يجر قصبة في النار … إنه أول من غير دين إسماعيل فنصب الأوثان وبحر البحيرة وسيب السائبة ووصل الوصيلة وحمى الحامي …

“Aku melihat ‘Amr bin Luhay menarik usus di neraka (dialah yamg pertama kali mengubah agama Ismail kemudian dia memasang berhala) Dialah yang memulai membuat aturan tentang onta bahirah, saaibah, washiilah, dan Ham”  (Hadits shahih)

Bahira : Unta yang air susunya khusus dipersembahkan kepada berhala, tidak boleh ada seorangpun yang boleh memerahnya.

Saibah : Unta yang dibiarkan begitu saja untuk tuhan tuhan mereka, tidak boleh ditunggang.

Washilah : Unta betina yang melahirkan anak pertama betina, disusul anak kedua betina. Unta ini dibiarkan begitu saja untuk berhala.

Hami : Unta jantan yang mampu membuntingi betinanya hingga 10 kali. Jika sudah genap 10 kali mereka menyerahkanya kepada berhala.

Kemudian Allah menurunkan ayat tentang hal ini :

"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan ham. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti (QS. Al-Maidah : 103)"

Berhala orang-orang Arab pada zaman pra-kenabian Muhammad SAW umumnya terbuat dari bahan-bahan seperti kayu, tembaga, besi, batu, atau bahkan perak dan emas. Bentuknya dikondisikan menyerupai manusia atau hewan.

Hubal, berbentuk sesosok manusia yang patah tangan kanannya. Namun, kemudian kaum musyrikin Quraisy memperbaiki tangan sesembahannya itu sehingga kini terbuat dari emas. Mayoritas Hubal dipahat dari bahan batu akik merah. Perancangnya diduga merupakan seorang seniman Yunani atau Suriah. Hubal adalah satu dari sekitar 360 berhala yang berjejalan di sekitar Ka'bah pada masa Jahiliyah.

Selain Hubal, ada lagi beberapa berhala yang termasyhur di Makkah. Di antaranya ada lah al-Lata, al-Uzza, dan Manah. Bahkan ada kepercayaan  bahwa Tuhan punya anak perempuan. Padahal, mereka sendiri malu bila ketahuan istri-istrinya melahirkan anak perempuan. Sebagaimana diketahui, tidak sedikit orang kafir Quraisy yang menguburkan anak perempuan nya hidup-hidup pada zaman Jahiliyah. Patung al-Lata dibuat dari batu putih persegi yang diletakkan di dalam rumah rumahan serupa Ka'bah.

Berhala itu disembah banyak kabilah, termasuk Quraisy dan Tsaqif di Thaif. Lokasi tempat al-Lata berada dianggap sebagai tanah haram. Masyarakat Thaif yang musyrik kerap melakukan thawaf mengelilingi patung tersebut. Al-Uzza disembah terutama oleh orang-orang pagan dari Bani Ghafatan di Wadi Nakhlah, sebelah timur Makkah. Namun, masyarakat Quraisy dan Tsaqif juga menghormatinya. Berhala itu terbuat dari kayu pohon samurah milik Bani Ghafatan. Sama seperti penduduk di Thaif, mereka juga membuat rumah-rumahan mirip Ka'bah sebagai tempat persemayaman al- Uzza. Lokasinya disebut Ka'batu Ghafatan, 'Ka'bahnya masyarakat Ghafatan.'

Manah disembah kabilah al-Aus dan al- Khazraj yang bermukim di Yasrib (Madinah). Bagaimanapun, tempat pemujaan nya berlokasi bukan di kota tersebut, melainkan pesisir Qadid, titik rute antara Makkah-Yasrib. Kabilah Ghatarif dari Bani Azad bertindak sebagai pelayan para peziarah yang hendak menyembah Manah di sana. Berhala tersebut dibuat dari batu. Bentuknya serupa sesosok perempuan.

Penghambaan terhadap Hubal, al-Lata, al-Uzza, Manah, dan ratusan berhala lainnya hanya menghinakan bangsa Arab. Mereka yang sejak semula telah diwariskan ajaran yang hanif tauhid malahan menerima pengaruh kemusyrikan dari bangsa-bangsa luar.

Banyak yang menyadari akan hal itu, sehingga enggan mengikuti jalan kemusyrikan. Orang-orang yang demikian berpegang teguh pada akidah tauhid dan mengikuti tata cara hidup al-hanafiyah. Ciri-cirinya antara lain, mereka meyakini adanya hari kebangkitan dan hari penghimpunan (yaumul mahsyar. Mereka menolak klaim musyrikin yang menyebut, manusia yang mati tidak akan dibangkitkan dan ditanya perbuatan-perbuatannya di akhirat. Mereka bukan hanya meyakini kehidupan setelah mati, tetapi juga berharap bahwa Allah SWT akan memberikan perlindungan.

Sebab, Dia Yang Maha Esa akan memberikan balasan yang setimpal bagi setiap orang sesuai amal perbuatannya. Syekh al- Buthy menyebut beberapa nama pengikut setia millah Ibrahim pada masa sebelum kenabian Rasulullah SAW. Di antaranya adalah Qass bin Sa'idah al-Iyyadi, Ri'ab asy-Syinni, dan Buhaira sang rahib yang ditemui oleh Muhammad SAW, kala usianya masih 12 tahun dan sedang menemani paman nya, Abu Thalib, dalam perjalanan dagang ke Suriah.